Kota Tahu
Liburan telah tiba,
kali ini liburan hari raya idul fitri 1435H . Kami sekeluraga berencana untuk
merayakan lebaran di sumedang yang merupakan kampung kelahiran istri.
Alhamdulillah liburan lebaran tahun ini cukup panjang karena jatuh pada hari senin-selasa,
jadi secara total 9 hari libur diakumulasikan dengan cuti bersama.
Kota sumedang seperti
kita ketahui merupakan kota penghasil tahu yg terkenal dengan “tahu sumedang”.
Disini banyak penjual tahu, mulai dari pemilik rumah makan, hingga yang menjajakan sepanjang jalan
arah kota sumedang. Zaman dahulu ada tahu bungkeng
yang menjadi pelopor tahu kota ini, namun seiring dengan waktu minat pengunjung
makin menurun. Tahu sumedang disini bagian tengah/dalamnya berisi alias tidak
kopong/kosong, dan biasanya dijual sambalnya juga secara terpisah. Untuk
penyajiannya biasanya ditemani lontong atau bisa juga hanya sekedar makan tahu saja. Saat ini penjual
tahu sumedang yang terkenal dan banyak pegunjung adalah RM Cita Rasa (seberang
Griya). Namun kali ini kita tidak bercerita
sejarah tahu sumedang tetapi pengalaman dan kisah saya pribadi selama di kota
ini.
Di kota ini saya menjumpai banyak makanan oleh-oleh, mulai dari comet, seblak, kripik singkong, pisang sale dan sebagainya. Tidak lupa buahnya yang saya suka,
sawo apel yang rasanya manis namun tekstur dagingnya tidak terlalu lunak, serta
talas yang rasanya maknyus dengan tekstur daging buah yang lembut. Satu lagi
tidak ketinggalan uli goreng ditemani oncom dan teng teng.
Di rumah mertua
terkadang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak, alasannya agar rasanya
lebih enak, itu pendapat mertua saya. Kesempatan kali ini saya pun merasakan
bagaimana membuat kayu menjadi terbakar, menggunakan kertas dan kardus. Pengalaman
ini mengajarkan saya bagaimana cara menyusun kayu, dimana susunan dibuat
menyerupai segitiga dan tidak boleh asal tumpuk serta dikasi jarak/ruang dalam
tungku. Hal ini dilakukan agar tidak banyak mengeluarkan asap dan kayu terbakar
dengan benar. Di tungku kayu bakar itu kita masak bongko (campuran
beras dan kacang bogor) dan ketupat.
Pagi itu saya mengantar mertua ke pasar untuk
belanja kebutuhan lebaran dan tidak lupa daging. Pada hari yang sama,
alhamdulillah selesai dibuat masakan sambal goreng kentang, rendang, sayur
ketupat, gulai otak dan bistik, salad buah & sayur, rujak cuka. Sore hari
kami adakan acara buka puasa bersama. Dilanjutkan bakar kembang api dan air
mancur setelah shalat. Anak kami senang
sekali melihat nyala kembang api. Sesudahnya, saya lanjut ke masjid untuk
takbir bersama orang kampung tersebut.
Salah satu tradisi disini apabila sholat berjamaah di masjid maka yang
menjadi imam hanya orang tertentu atau biasa disebut imam rawatib. Umumnya orang
tua dan ilmu agamanya sudah mumpuni. Akan digantikan oleh orang lain (umumnya
orang yg dituakan) jika imam rawatib berhalangan. Satu hal unik yang saya
dapatkan, dimana jika telah selesai doa dan waktunya bersalaman satu-satu, maka
yang maju dan salaman awal yaitu imam mendatangi jamaah mulai dari shaf kiri ke
kanan hingga makmum terakhir. Umumnya di daerah kami Jakarta-Bekasi, jamaah yang mendatangi imam untuk
bersalaman.
Hari Idul Fitri pun
tiba, kami bersiap shalat ied berjamaah. Satu hal yang berkesan, dimana segala
doa, kata sambutan menggunakan bahasa sunda, alhasil saya tidak mengerti yang
disampaikan. Namun saat khutbah, alhamdulillah menggunakan bahasa Indonesia. Isi
khutbah yang cukup dalam maknanya sebagai berikut :
Kelak orang-orang akan hancur kecuali orang yang berilmu,
Orang berilmu akan hancur kecuali orang yang mengamalkan
Orang yang mengamalkan akan
hancur karena tertipu kecuali orang
yang ikhlas
*diketik oleh saya, dibaca oleh siapa saja
Comments
Post a Comment