Kisah Sahabat (1)
Salah satu prosesi adat yang sangat dihormati, sakral, khidmat, dan kental dengan budaya adalah pernikahan.
Seorang wanita dan pria menjalin hubungan lalu mengikatkan diri dalam pernikahan, menjalin kasih secara sah dan halal menurut agama dan peraturan yang berlaku. Sesungguhnya setiap insan itu diciptakan berpasangan. Semua bergantung pada niat dan usaha kita untuk mencapai tujuan tersebut.
Momen pernikahan, akhir dari sebuah penantian,
Tidak pernah luntur termakan waktu dan zaman,
Segalanya indah dan bahagia, kiranya itulah yang kurasakan.
Marilah kita simak sebuah kisah keteladanan sayyidina Ali seperti dikutip dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah chapter aslinya berjudul "Mencintai sejantan 'Ali"
"Semoga Allah
mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian
berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan
yang banyak." (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).
"diketik oleh saya, dibaca oleh siapa saja"
Seorang wanita dan pria menjalin hubungan lalu mengikatkan diri dalam pernikahan, menjalin kasih secara sah dan halal menurut agama dan peraturan yang berlaku. Sesungguhnya setiap insan itu diciptakan berpasangan. Semua bergantung pada niat dan usaha kita untuk mencapai tujuan tersebut.
Momen pernikahan, akhir dari sebuah penantian,
Tidak pernah luntur termakan waktu dan zaman,
Segalanya indah dan bahagia, kiranya itulah yang kurasakan.
Marilah kita simak sebuah kisah keteladanan sayyidina Ali seperti dikutip dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah chapter aslinya berjudul "Mencintai sejantan 'Ali"
Ada rahasia
terdalam di hati 'Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib
kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh
memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah
gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan
kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan
penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah
ayahnya.
Semuanya dilakukan
dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn 'Abdullah Sang Terpercaya
tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka'bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula
saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut
jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
'Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia
memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah
dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan
Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal
risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq,
Radhiyallaahu ’Anhu.
"Allah
mengujiku rupanya", begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji
karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin
justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti 'Ali, namun keimanan dan
pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu
Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara 'Ali bertugas
menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga
bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan
saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; 'Utsman,
'Abdurrahman ibn 'Auf, Thalhah, Zubair, Sa'd ibn Abi Waqqash, Mush'ab.. Ini
yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti 'Ali.
Lihatlah berapa
banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar;
Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, 'Abdullah ibn Mas'ud.. Dan siapa budak yang
dibebaskan 'Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah
lebih bisa membahagiakan Fathimah.
'Ali hanya pemuda
miskin dari keluarga miskin. "Inilah persaudaraan dan cinta", gumam
'Ali.
"Aku
mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas
cintaku."
Cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah
keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu
berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat
layu.
Lamaran Abu Bakar
ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian
itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah
seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk
Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki
yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
'Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran
dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. 'Umar memang masuk Islam
belakangan, sekitar 3 tahun setelah 'Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang
menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar
pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya 'Umar dan
Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, 'Ali
mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, "Aku datang bersama Abu
Bakar dan 'Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan 'Umar, aku masuk bersama Abu
Bakar dan 'Umar.."
Betapa tinggi
kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan
bagaimana dia berhijrah dan bagaimana 'Umar melakukannya. 'Ali menyusul sang
Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak
menemukan beliau Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan
di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan
bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
'Umar telah
berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka'bah.
"Wahai Quraisy", katanya. "Hari ini putera Al Khaththab akan
berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim,
atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang 'Umar di balik bukit
ini!" 'Umar adalah lelaki pemberani. 'Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari
semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. 'Umar jauh lebih layak. Dan
'Ali ridha.
Cinta tak pernah
meminta untuk menanti.
Ia mengambil
kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau
mempersilakan.
Yang ini
pengorbanan.
Maka 'Ali bingung
ketika kabar itu meruyak. Lamaran 'Umar juga ditolak.
Menantu macam apa
kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti 'Utsman sang miliarderkah yang
telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi'kah,
saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah
itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara
Muhajirin hanya 'Abdurrahman ibn 'Auf yang setara dengan mereka. Atau justru
Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan
mereka? Sa'd ibn Mu'adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn 'Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
"Mengapa
bukan engkau yang mencoba kawan?", kalimat teman-teman Ansharnya itu
membangunkan lamunan. "Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku
punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. "
"Aku?",
tanyanya tak yakin.
"Ya. Engkau
wahai saudaraku!"
"Aku hanya
pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?"
"Kami di
belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!"
'Ali pun menghadap
Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk
menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang
menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah
persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun
untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas
waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua
sekarang.
"Engkau
pemuda sejati wahai 'Ali!", begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang
siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas
pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya
berjawab, "Ahlan wa sahlan!" Kata itu meluncur tenang bersama senyum
Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai
isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh
lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi
menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
"Bagaimana
jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?"
"Entahlah.."
"Apa
maksudmu?"
"Menurut
kalian apakah 'Ahlan wa Sahlan' berarti sebuah jawaban!"
"Dasar tolol!
Tolol!", kata mereka,
"Eh, maaf
kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja
sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan!
Dua-duanya berarti ya !"
Dan 'Ali pun
menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula
ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar
cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian
untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, 'Umar, dan Fathimah. Dengan
keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
'Ali adalah
gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, "Laa fatan
illa 'Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!" Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di
sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti 'Ali. Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah
keberanian.
Dan ternyata tak
kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada 'Ali,
"Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh
cinta pada seorang pemuda"
'Ali terkejut dan
berkata, "kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah
pemuda itu?"
Sambil tersenyum
Fathimah berkata, "Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu" ini merupakan
sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.
Kemudian Nabi saw
bersabda: "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk
menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah
sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan mas kawin empat ratus Fidhdhah
(dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut."
Kemudian
Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
"diketik oleh saya, dibaca oleh siapa saja"
Comments
Post a Comment